Kamis, 26 Februari 2015

FreeBacklink

Rabu, 01 Oktober 2014

Mesjid Raya Baiturrahman Aceh


Mesjid Raya Baiturrahman Aceh/Tempo Dulu

Mesjid Raya Baiturrahman Aceh
1. Sejarah Pembangunan
Masjid Baiturrahman memiliki sejarah panjang. Memahami dengan baik sejarah masjid ini, berarti telah memahami sebagian sejarah perjalanan orang-orang Aceh.

Menurut riwayat, Masjid Baiturrahman dibangun ketika Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Namun, masjid ini terbakar di masa pemerintahan Sultan Nurul Alam (1675-1678 M). Sebagai gantinya, kemudian dibangun masjid baru di lokasi yang sama.

Di era penjajahan kolonial Belanda, disamping berfungsi sebagai tempat ibadah, masjid ini juga berfungsi sebagai markas pertahanan rakyat Aceh dalam melawan kolonial Belanda. Fungsi masjid raya sebagai pusat perlawanan sangat jelas terutama di masa Sultan Alaiddin Mahmud Syah (1870-1874 M). Ketika itu, Masjid Raya sering digunakan sebagai tempat musayawarah dalam menyusun strategi melawan Belanda.

Sebagai pusat perlawanan, maka, tak heran masjid ini selalu menjadi sasaran serangan Belanda. Pada 10 April 1873 M, masjid ini direbut oleh Belanda dan sebagian bangunannya mereka bakar. Pada 14 April 1873 M, kembali terjadi pertempuran sengit dan Masjid Raya berhasil direbut kembali oleh rakyat Aceh. Dalam pertempuran tersebut, Mayor Jenderal J.H.R. Kohler ikut terbunuh bersama lebih 400 ratus pasukannya.

Akibat kekalahan tersebut, Belanda kemudian menyiapkan pasukan yang jauh lebih besar dengan persenjataan yang lebih lengkap. Pada 6 Januari 1874 M, kembali terjadi pertempuran sengit. Walaupun telah dipertahankan mati-matian, namun, akhirnya rakyat Aceh kalah dan masjid direbut oleh Belanda. Ternyata, Belanda tidak hanya merebut masjid, tapi juga membakarnya hingga rata dengan tanah, sehingga menambah kemarahan rakyat Aceh. Untuk membujuk dan meluluhkan hati rakyat Aceh yang marah pada kolonial Belanda, Gubernur Jenderal Belanda, J. W. van Lansberge kemudian mengunjungi Aceh dan berjanji pada orang Aceh untuk membangun kembali sebuah masjid agung yang baru, pengganti masjid yang telah terbakar.

Peletakan batu pertama pembangunan kembali masjid tersebut dilakukan pada 9 Oktober 1879 M oleh Tengku Malikul Adil, disaksikan oleh Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh saat itu, G. J. van der Heijden. Pembagunan masjid selesai dan secara resmi dibuka pada 27 Desember 1881 M.

2. Lokasi

Masjid Raya Baiturrahman terletak di tengah kota Banda Aceh. Dulu, kota ini bernama Kuta Raja.

3. Luas

Masjid Baiturrahman mampu menampung 1900 jamaah shalat.

4. Arsitektur

Arsitektur masjid bercorak eklektik, yaitu suatu rancangan yang dihasilkan dari gabungan berbagai unsur dan model terbaik dari berbagai negeri, sehingga bangunan masjid menjadi begitu megah dan indah. Untuk menambah kemegahan dan keindahan, masjid ini diposisikan di tengah lapangan yang luas terbuka, sehingga semua bagian masjid bisa terlihat dengan jelas dari kejauhan.

Bagian pertama masjid adalah gerbang, posisinya menempel dengan unit utama. Setelah gerbang terdapat porch yang berbentuk segi empat panjang. Bagian depan, kiri dan kanan porch dikelilingi oleh tangga yang membentuk huruf U. Pada ujung tangga depan, terdapat tiga bukaan (jendela tanpa pintu) yang dibentuk oleh empat kolom (tiang) langsing silindris model arsitektur Moorish, yang banyak terdapat di masjid-masjid Afrika Utara dan Spanyol. Antara kolom satu dengan lainnya dihubungkan dengan plengkung patah model Persia. Karena ada empat kolom, maka berarti terdapat tiga plengkung. Pada bagian atas dan sisi plengkung terdapat hiasan relief lengkung-legkung seperti corak Arabesque. Di atas ketiga plengkung ini, terdapat semacam tympanum yang berbentuk jenjang seperti penampang sebuah tangga. Corak ini merupakan model khas rumah klasik Belanda. Pada setiap jenjang dihias dengan miniatur sebuah gardu atau cungkup, yang dihiasi kubah bawang pada bagian puncaknya. Corak ini menunjukkan adanya pengaruh India. Jadi, dari bagian luar saja, sudah begitu jelas nuansa ekletik Masjid Raya ini. Sisi kiri dan kanan porch mempunyai dua kolom yang dihubungkan oleh satu plengkung, dekorasinya sama dengan porch bagian depan.

Setelah melewati porch, kemudian masuk ke ruang utama masjid yang digunakan untuk shalat. Namun, sebelum masuk ke ruang utama ini, terdapat lagi plengkung dan kolom yang sama dengan bagian depan. Plengkung tersebut tanpa pintu, seperti kebanyakan masjid kuno di India. Bagian tengah ruang shalat berbentuk bujur sangkar, diatapi oleh kubah utama yang indah dan megah bercorak bawang, pucuknya dihiasi cunduk, seperti masjid-masjid kuno di India. Penyangga kubah berdenah segi delapan, pada masing-masing sisinya, terdapat sepasang jendela, ambangnya plengkung patah. Pada bagian bawah terdapat tritisan berdenah segi delapan. Pada bagian kiri dan kanan ruang shalat utama ini, terdapat unit sayap kembar, sehingga bangunan ini menjadi simetris. Atap masjid berbentuk limasan berlapis dua. Pada jendela yag terdapat di masjid ini, tampak sekali pengaruh Moorish, terutama dari hiasan yang bercorak intricate.

5. Perencana

Arsitek yang merancang Masjid Raya Baiturrahman adalah seorang kapten zeni angkatan darat Belanda, de Bruijn. Untuk menentukan arsitektur masjid, ia berkonsultasi terlebih dulu dengan Snouck Hurgronje dan penghulu masjid Bandung.

6. Renovasi

Sebagaimana diceritakan di atas, Masjid Raya telah beberapa kali mengalami pembangunan kembali akibat terbakar ataupun dibakar Belanda. Masjid yang berdiri sekarang merupakan masjid yang dibangun Belanda, pengganti dari masjid raya yang telah mereka bakar dalam peperangan menaklukkan Aceh.

Masjid Raya yag dibangun Belanda ini, juga telah direnovasi beberapa kali. Antara tahun 1935 dan 1936 M, sayap kiri dan kanan atapnya ditambah dengan kubah, sehingga jumlahnya menjadi tiga.

Kemudian, pada tahun 1957, ada penambahan dua unit kembar, posisinya di ujung kiri (utara) dan kanan (selatan) dari sayap, masing-masing memiliki satu kubah. Dengan penambahan ini, jumlah kubah menjadi lima, sesuai dengan Pancasila. Namun, jika dilihat dari depan, konstruksi masjid masih tetap simetris.

Selanjutnya, juga dibuat dua buah minaret pada sudut barat-utara dan barat-selatan. Penampang minaret bersegi delapan, dengan bentuk atap sama dengan kubah utama di depan. Namun, satu catatan, penambahan ini tetap mengacu pada elemen-elemen yang sudah ada sebelumnya di masjid ini, sehingga keaslian masjid tetap terjaga.

Di akhir tahun 1980-an, Masjid Baiturrahman direnovasi. Kemudian, pasca tsunami yang terjadi di Aceh pada tahun 2005, masjid ini kembali direnovasi karena mengalami kerusakan, walaupun tidak terlalu parah.

www.historyofaceh.blogspot.com

Cakra Donya


Cakra Donya
Hampir semua masayrakat Aceh pasti tau tentang Loceng CakraDonya yang ada di Banda Aceh. Tapi tau kah kita siapa yang mengantarkan nya hingga sampe ke tanah aceh? Dari beberapa artikel lonceng ini diberikan oleh pemerintah China, adalah Laksamana Cheng Ho yang merupakan pelayar tangguh dan (saya pikir) lebih hebat daripada Columbus yang terkenal itu sebagai perwakilan bangsa China pada saat itu, untuk menghadiahkan nya kepada Kerajaan Aceh.

Cheng Ho adalah seorang laksamana China yang hebat . Perjalannnya lebih jauh daripada Columbus, Vasco da Gamaa dan pelayar eropa lain yang mungkin lebih kita kenal. Beliau melakukan perjalanan antar benua 7 kali berturut-turut dalam kurun waktu 28 tahun.

Tidak ada ekspansi dan imprealisasi yang dilakukannya seperti halnya pelayar-pelayar dari bangsa Eropa. Beliau hanya mempropaganda tentang kejayaan Dinasti Ming. Malah pernah membantu menumpas perompak di perairan Palembang.

Hal yang lebih membuat saya salut adalah, dia adalah seorang muslim yang taat dengan ajaran Islam. Kapal yang digunakan untuk berlayar, 5 kali lebih besar daripada kapal Columbus. Dalam kurun waktu 1405-1433 , pernah singgah di Kerajaan Samudra Pasai dan menghadiahi lonceng Cakra Donya kepada kerajaan Aceh.

Sebagai sosok Muslim beliau perlu di contoh, jaman dahulu muslim sangat kuat dibanding bangsa Eropa, tapi banyak dari kita baru mengetahui, Pelayaran Columbus ternayta tidak lebih hebat dari seorang Laksamana Muslim Cheng Ho..

nb: attachments file, adalah perbandingan kapal Laksamana Cheng Ho dan Columbus

sumber:
http://www.chinapage.com/zhenghe.html
http://permai1.tripod.com/chengho.html
http://ms.wikipedia.org/wiki/Galeri_Laksamana_Cheng_Ho
http://historyofaceh.blogspot.com/2008/11/dibalik-sejarah-lonceng-cakra-donya.html

Gajah Puteh - Gajah Putih

M. Junus Djamil dalam bukunya yang berjudul "Gadjah Putih" yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh tahun 1959 di Kutaradja, antara lain telah menulis tentang "Riwajat asal usul wudjudnya Gadjah Putih di Keradjaan Atjeh" yang berhubungan dengan berdirinya Kerajaan Linge di daerah Gayo. Tulis*an tersebut bersumber dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesen dan dari Zainuddin yaitu raja dari Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di daerah Gayo Laut pada masa kolonial Belanda dahulu.Menurut Junus Djamil di sekitar tahun 1025 di daerah Gayo telah berdiri Kerajaan Linge pertama yang dipimpin oleh seorang raja yang namanya "Kik Betul" atau "Kawee Teupat" menurut sebutan orang Aceh, pada masa berkuasanya Sultan Machuclum Johan Berclaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak sekitar tahun 1012-1058.

Raja Lingga I, yang menjadi keturunan langsung Batak, disebutkan mempunyai beberapa anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga, Meurah Johan dan Meurah Lingga, Meurah Silu dan Meurah Mege.

Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Batak leluhurnya tepatnya di Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri atau Lambri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.

Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.

Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.Baru 500 tahun kemudian yaitu sekitar tahun 1511, diketahui seorang raja keturunan Raja Linge yang dikenal sebagai Raja Linge ke XIII. Raja Linge ke XIII terkenal, karena selain ke*dudukannya di Tanah Gayo, juga mempunyai kedudukan penting di pusat Kerajaan Aceh dan di dalam Pemerintah Kerajaan Johor di semenanjung Tanah Melayu.Ketika Portugis menyerang dan merebut Kerajaan Malaka tahun 1511, Sultan Mahmud Syah dari Malaka terpaksa mengundurkan diri ke Kampar di daerah Sumatera, sedang keluarganya diungsikan ke Aceh Darussalam. Dalam keadaan yang sulit ini Kerajaan Aceh telah ikut membantu Raja Malaka tersebut. Hubungan kerja sama ini telah berkembang demikian rupa hingga terjadi pula suatu perkawinan yang dapat dikatakan sebagai per*kawinan politik antara Kraton Aceh dengan Kraton Malaka. Seorang putra Sultan Malaka bernama Sultan Alaudin Mansyur Syah dinikahkan dengan seorang putri Kerajaan Aceh. Sebaliknya seorang putri Sultan Malaka dikawinkan pula dengan seorang pembesar Kerajaan Aceh yaitu Raja Linge ke XIII.Raja Linge ke XIII juga duduk dalam staf Panglima Besar Angkatan Perang Aceh (Amirul Harb), sejak Sultan Aceh berjuang mengusir Portugis dari daerah Pase dan Aru. Karena keduduk*annya yang penting dalam Kerajaan Aceh, maka kedudukannya sebagai Raja Linge diserahkan kepada anaknya yang tertua men*jadi Raja Linge XIV di Tanah Gayo.Dalam tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru yang di*pimpin oleh Sultan Alaudin Mansyur Syah. Raja Linge XIII duduk dalam Kabinet Kerajaan Johor ini sebagai wakil dari Kerajaan Aceh. Dan dalam rangka membangun dan mengembangkan Kerajaan Johor baru, di camping menghadapi kaum penjajah Portugis, Sultan Johor telah menugaskan kepada Raja Linge XIII untuk membangun sebuah pulau di Selat Malaka yang termasuk wilayah Kerajaan Johor. Pulau tersebut kemudian terkenal dengan "Pulau Lingga".Selama Raja Linge XIII membangun Pulau Lingga ini dia mem*peroleh dua orang anak lelaki, seorang di antaranya bernama"Bener Merie" dan seorang lagi adiknya bernama "Sengeda".. Di Pulau Lingga inilah kemudian Raja Linge XIII meninggal dunia.

Setelah meninggalnya Raja Linge XIII, istrinya yang berasal dari Kraton Malaka itu, pindah ke Aceh Darussalam dengan mem*bawa kedua anaknya yang masih kecil Bener Merie dan Sengeda. Ketika kedua-duanya menginjak dewasa, barulah ibunya memberi tahukan asal keturunan ayahnya di Linge Tanah Gayo. Abangnya yang tertua menjadi Raja Linge XIV di negeri Linge menggantikan ayahnya.Demikianlah Bener Merie dan Sengeda kemudian berangkat ke Tanah Gayo untuk menemui abang dari ayahnya yaitu Raja Linge XIV. Tetapi malang nasib mereka, karena kedatangannya tidak diterima dengan baik oleh Raja Linge XIV, malahan mereka dituduh telah membunuh ayahnya Raja Linge XIII. Kedua -duanya dijatuhi hukuman mati. Bener Merie atas perintah Raja Linge XIV dibunuh, sedang pembunuhan Sengeda ditugaskan kepada Raja Cik Serule. Tetapi Raja Cik Serule tidak mau melaksanakan tugasnya, Sengeda disembunyikannya sehingga terlepas dari pembunuhan. Peristiwa ini terjadi pada masa Sultan Aceh Alaidin Ria'yah II sedang berkuasa di Aceh tahun 1539-1571.Dalam suatu upacara di Kraton Aceh, yang dihadiri oleh seluruh raja-raja Aceh, Sultan memerintahkan kepada mereka untuk mencari "gajah putih" yang dikabarkan terdapat di hutan-hutan Tanah Gayo, untuk dipersembahkan kepadanya. Sultan akan memberikan hadiah kepada siapa yang menangkap dan menyerahkan gajah putih tersebut kepadanya.Walaupun dengan rasa kecewa Raja Linge XIV menyiapkan perutusan ke Darussalam untuk mempersembahkan gajah putih tersebut kepada Sultan. Dia tidak mengetahui bahwa yang menangkap gajah putih tersebut adalah Sengeda yang telah diperin*tahkannya untuk dibunuh.Pada upacara penyerahan gajah putih keadaan Sultan di Kraton Aceh, gajah putih yang semula direncanakan diserahkan oleh Raja Linge XIV kepada Sultan ternyata gagal, karena gajah putih tersebut mengamuk, tidak mau dituntunnya. Sifatnya yang biasa*nya jinak telah berobah menjadi berang dan ganas, mengejar-ngejar Raja Linge XIV yang hampir-hampir tewas.

Akhirnya Sengeda yang dapat menjinakkan gajah putih tersebut, dan menyerahkannya kepada Sultan dengan tenang. Semua yang hadir menjadi tercengang-cengang, Sultan menanyakan peristiwa yang aneh itu. Sengeda terpaksa membongkar rahasia kejahatan Raja Linge XIV yang telah membunuh abangnya Bener Merie.Mendengar keterangan Sengeda ini, Sultan sangat murka, dan segera memerintahkan menangkap Raja Linge XIV. Kemudian di*majukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman mati. Tetapi ber*untung, bagi Raja Linge XIV, dia tidak jadi dihukum mati, karena ibu Sengeda dan Sengeda sendiri memberi maaf kepadanya di muka pengadilan, sehingga Sultan membatalkan hukuman mati tersebut. Hukumannya diperingan sekedar diturunkan pangkatnya dan membayar diet atau semacam denda.Segera setelah peristiwa gajah putih ini, Sultan mengangkat Sengeda menjadi Raja Linge ke XV menggantikan Raja Linge XIV yang khianat itu.Kisah atau legenda lain mengenai peristiwa "gajah putih" dan kisah "Sengeda" adalah berdasar versi yang ditulis oleh seorang penyair Gayo yaitu Ibrahim Daudi atau yang lebih terkenal Mude Kala dalam bentuk syair bahasa Gayo. Jalan ceritanya hampir sama, tetapi isinya jauh berbeda.

Perbedaan terpenting antaranya adalah menurut tulisan M. Junus Djamil kisah "gajah putih" dan Sengeda tersebut berhu*bungan dengan pengangkatan Sengeda menjadi Raja Linge XV, sedangkan dalam kisah dalam bentuk syair Gayo versi Mude Kala, kisah atau legenda gajah putih dan kisah Sengeda tersebut ber*hubungan dengan pembentukan "Kejurun Bukit" di Gayo Laut. Menurut versi Mude Kala, karena jasanya menemukan gajah putih dan membongkar rahasia pembunuhan terhadap Bener Merie, maka Sengeda diangkat menjadi Raja Bukit pertama di Gayo Laut. Sengeda dianggap sebagai keturunan raja-raja Bukit selanjutnya. (PERANG GAYO ALAS MELAWAN KOLONIALIS BELANDA, 1983, M.H.GAYO )

www.historyofaceh.blogspot.com

Penghianatan Panglima Tibang

Ia datang sebagai pesulap yang mampu menarik simpati kalangan istana kerajaan Aceh. Karena kepiawannya ia dipercayakah sebagai syahbandar. Guna menghadapi serangan Belanda, ia diutus untuk melakukan perjalanan diplomasi ke luar negeri. Tapi di luar negeri ia balik menyerang Aceh bersama Belanda. Seumur masa ia dicap pengkhianat.

Ramasamy, seorang pemuda dari India selatan, suatu ketika singgah di pelabuhan kerajaan Aceh. Ia hanya seorang perantau yang punya keahlian sebagai pesulap. Berbekal keahliannya itu pula, ia mampu menarik simpati masyarakat Aceh di pelabuhan. Keahliannya main sulap akhirnya sampai juga ke istana kerajaan Aceh Darussalam. Dalam sebuah perhelatan ia pun diundang untuk menunjukkan kebolehannya itu.

Pemuda pengembara itu pun tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Melalui pertunjukan sulapnya, ia berhasil masuk istana. Kesempatan itu pula yang digunakannya untuk menarik simpati raja Aceh. Hal itu pun dituainya, setelah ia memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Muhammad. Sebagai mualaf, biaya hidupnya ditanggung kerajaan.




Ia pun semakin mantap menancapkan pengaruhnya di istana, setelah Sultan Mahmud Alauddin Syah (1871-1874) mengangkatnya sebagai syahbandar di pelabuhan Aceh. Karena jabatan itu, ia pun diberi gelar kehormatan, layaknya seorang bangsawan, Teuku Panglima Maha Raja Tibang Muhammad, yang sepanjang masa dikenang oleh bangsa Aceh sebagai pengkhianat, yang menggunting dalam lipatan.

Pengkhianatan Panglima Tibang, bermula ketika ia ditunjuk oleh Sultan Aceh, untuk memimpin utusan kerajaan Aceh yang akan berunding dengan Belanda di Riau, agar pihak Belanda sebaiknya datang ke Aceh pada Desember 1872. Hal itu merupakan upaya kerajaan Aceh untuk mengulur-ngulur waktu, sambil mempersiapkan kerja sama dengan Amerika dan Italia dalam menghadapi Belanda.

Setelah utusan sultan pulang dari Turki di bawah pimpinan Perdana Menteri Kerajaan Aceh merangkap Mangkubumi Habib Abdurrahman el Zahir. Persaingan politik pun terjadi. Panglima Tibang bermaksud menancapkan pengaruhnya kepada sultan untuk mengalahkan Habib. Untuk itu ia menuju Singapura. Dalam perjalanan pulang, ia menghubungi utusan Amerika dan Italia, guna memperoleh bantuan untuk menghadapi peperangan melawan Belanda. Armada Amerika yang berada di Hongkong, di bawah pimpinan Laksamana Jenkis pun setuju untuk membantu Aceh berperang dengan Belanda.

Namun informasi itu akhirnya diketahui oleh pihak Belanda. Memahami akibat yang lebih jauh andaikata perjanjian antara Aceh dengan Amerika dan Italia terwujud, maka Belanda pun mendahuluinya. Gubernur Jenderal Hindia Belanda, James Loudon, pada Pertengahan Februari 1873 pun mengirimkan armadanya ke Aceh. Apalagi setelah Belanda mendapat informasi bahwa armada Amerika di bawah pimpinan Laksamana Jenkins akan berangkat dari Hongkong menuju Aceh pada Maret 1873.

Menghadapi situasi seperti itu, para diplomat Aceh di Pulau Penang, Malaysia pun membentuk Dewan Delapan, yang terdiri dari empat orang bangsawan Aceh, dua orang Arab dan dua orang keling kelahiran Pulau Pinang. Dewan Delapan tersebut bertindak mewakili kepentingan Aceh di luar negeri. Di antaranya, menjalin diplomasi dengan negara-negara asing, mencari perbekalan perang dan mengangkutnya ke Aceh dengan menembus blokade angkatan laut Belanda yang sudah menguasai Selat Malaka.

Akhirnya pada Rabu 26 Maret 1873, bertepatan dengan 26 Muharam 1290 Hijriah, dari geladak kapal perang Citadel van Antwerpen, yang berlabuh antara Pulau Sabang dan daratan Aceh, Belanda menyatakan maklumat perangnya dengan Aceh, karena Aceh menolak mengakui kedaulatan Belanda. Maklumat perang itu diumumkan oleh Komisaris Pemerintah, merangkap Wakil Presiden Dewan Hindia Belanda, F.N Nieuwenhuijzen.

Tindak lanjut dari maklumat perang tersebut, pada Senin 6 April 1873, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Jenderal J.H.R Kohler, dengan kekuatan enam kapal perang, dua kapal angkutan laut, lima barkas, delapan kapal peronda, satu kapal komado, dan lima kapal layar, melakukan pendaratan di Pante Ceureumen, yang disambut dengan perlawanan rakyat Aceh. Maka perang pun berkecamuk.

Tak tanggung-tanggung, dalam agresi pertama itu, Belanda mengerahkan 168 perwira, 3.198 pasukan, 31 ekor perwira berkuda, 149 pasukan berkuda, 1.000 orang pekerja paksa, 50 orang mandor, 220 orang wanita, 300 orang pelayan. Perang dengan Belanda pun terus berlanjut.

Namun di tengah usaha Aceh melawan agresi Belanda tersebut, pada tahun 1879, Panglima Tibang yang dipercayakan sultan untuk menggalang diplomasi di luar negeri, berbalik arah. Ia meninggalkan rekan seperjuangannya, bergabung dengan Belanda untuk kemudian menyerang Aceh. Kepercayaan yang diberikan raja Aceh kepadanya pun dibalas dengan pengkhianatan. Tak pelak, nama Panglima Tibang sampai kini tertoreh di sanubari rakyat Aceh sebagai pengkhianat yang tak terampuni.

Pelabelan nama Panglima Tibang sebagai pengkhianat nomor wahid pun terus berlanjut sampai kini. Dalam sejarah konflik Aceh, tak terkecuali ditubuh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) nama Panglima Tibang selalu diberikan kepada orang-orang yang berkhianat atau menyerah kepada pemerintah. Sebuah label yang nilai kebenciannya melebihi cap cuak, sipil yang menjadi informan terhadap tentara. Kisah pengkhianatan Panglima Tibang itu, kini menjadi catatan kelam sejarah Aceh. ***

Referensi:

1. Prof. Dr Aboe Bakar Atjeh, dalam “Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah” Panitia PKA II, Agustus 1972

2. M Nur El Ibrahimi dalam “Selayang Pandang Diplomasi Kerajaan Aceh”

http://www.historyofaceh.blogspot.com

Cerita Aceh - Bireuen, Peusangan dan Malem Diwa

Sebagai sebuah kabupaten, Bireuen memiliki babatan sejarah tersendiri yang melekat dengan Kabupaten Aceh Utara, sebagai awal induk daerah tersebut. Peusangan sebagai bagian dari Bireuen juga memiliki kisah tersendiri, salah satunya Malem Diwa yang sudah melegenda.

Bireuen boleh dibilang sebagai kabupaten yang tergolong masih muda di Aceh. Ia baru menjadi daerah pemerintahan defenitif tingkat dua pada tahun 1999. Sebelum itu, Bireuen merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Utara. Sejarah Aceh Utara sendiri tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan Kerajaan Islam di pesisir Sumatera yaitu Samudera Pasai yang terletak di Kecamatan Samudera Geudong yang merupakan tempat pertama kehadiran Agama Islam di kawasan Asia Tenggara.

Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh mengalami pasang surut, mulai dari zaman Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, kedatangan Portugis ke Malaka pada tahun 1511 sehingga 10 tahun kemudian Samudera Pasai turut diduduki, hingga masa penjajahan Belanda. Secara de facto Belanda menguasai Aceh pada tahun 1904, yaitu ketika Belanda dapat menguasai benteng pertahanan terakhir pejuang Aceh Kuta Glee di Batee Iliek di Samalanga. Dengan surat Keputusan Vander Geuvemement General Van Nederland Indie tanggal 7 September 1934, Pemerintah Hindia Belanda membagi Daerah Aceh atas 6 (enam) Afdeeling (Kabupaten) yang dipimpin seorang Asistent Resident.

Salah satunya adalah Affleefing Noord Kust Van Aceh (Kabupaten Aceh Utara) yang meliputi Aceh Utara sekarang ditambah Kecamatan Bandar Dua yang kini telah termasuk Kabupaten Pidie Jaya. Afdeeling Noord Kust Aceh dibagi dalam 3 (tiga) Onder Afdeeling (Kewedanaan) yang dikepalai seorang Countroleur (Wedana) yaitu: Onder Afdeeling Bireuen, Onder Afdeeling Lhokseumawe, Onder Afdeeling Lhoksukon Selain Onder Afdeeling tersebut terdapat juga beberapa Daerah Ulee Balang (Zelf Bestuur) yang dapat memerintah sendiri terhadap daerah dan rakyatnya yaitu Ulee Balang Keuretoe, Geurogok, Jeumpa, dan Peusangan yang diketuai oleh Ampon Chik. Pada masa pendudukan Jepang istilah Afdeeling diganti dengan Bun, Onder Afdeeling disebut Gun, Zelf Bestuur disebut Sun, Mukim disebut Kun dan Gampong disebut Kumi.

Sesudah Indonesia diproklamirkan sebagai negara merdeka, Aceh Utara disebut Luhak yang dikepalai oleh seorang Kepala Luhak sampai dengan tahun 1949. Melalui Konfrensi Meja Bundar, pada 27 Desember 1949 Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat yang terdiri dari beberapa negara bagian. Salah satunya adalah Negara Bagian Sumatera Timur. Tokoh-tokoh Aceh saat itu tidak mengakui dan tidak tunduk pada RIS tetapi tetap tunduk pada Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.

Dengan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor I/ Missi / 1957, lahirlah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Dengan sendirinya Kabupaten Aceh Utara masuk dalam wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Berdasarkan Undang Undang Nomor I tahun 1957 dan Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 1959. Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Utara terbagi dalam 3 (tiga) Kewedanaan yaitu : Kewedanaan Bireuen terdiri atas 7 kecamatan, Kewedanan Lhokseumawe terdiri atas 8 Kecamatan, Kewedanaan Lhoksukon terdiri atas 8 kecamatan. Dua tahun kemudian keluar Undang Undang Nomor 18 tahun 1959 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Berdasarkan UU tersebut wilayah kewedanaan dihapuskan dan wilayah kecamatan langsung di bawah Kabupaten Daerah Tingkat II. Dengan surat keputusan Gubemur Kepala Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor: 07/SK/11/ Des/ 1969 tanggal 6 Juni 1969, wilayah bekas kewedanaan Bireuen ditetapkan menjadi daerah perwakilan Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Utara yang dikepalai seorang kepala perwakilan.

Hampir dua dasawarsa kemudian dikeluarkan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, sebutan Kepala Perwakilan diganti dengan Pembantu Bupati Kepala Daerah Tingkat II, sehingga daerah perwakilan Bireuen berubah menjadi Pembantu Bupati Kepala Daerah Tingkat II Aceh Utara di Bireuen. Peusangan dan Malem Diwa Peran Peusangan dalam pergerakan dan perubahan di Indonesia juga tidak boleh dinafikan yaitu pada tanggal 5 Mei 1939 diadakan rapat di sebuah gedung yang sekarang dikenal dengan Universitas Almuslim oleh sekelompok ulama-ulama yang ada di Aceh, yang kemudian lahirlah Organisasi PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), yang diketuai oleh Tengku Muhammad Daud Beureuh. PUSA berusaha meningkatkan syiar Islam, dengan meningkatkan pendidikan agar terlaksana syiar Islam dalam masyarakat.

Dalam perjuangannya, organisasi ini bergabung dalam MIAI. Menceritakan Negeri Peusangan ingatan kita tidak terlepas dari romatika sejarah hikayat Malem Diwa, dan hubungannya dengan ”Negeri di Atas Angin” atau negeri ”Antara”. Mungkin kalau sekarang termasuk wilayah Tanah Gayo Aceh Tengah dengan ibukotanya Takengon. Kata "Antara" ini mungkin bisa diartikan letaknya di antara kedua kabupaten Tanah Gayo ini. Tetapi, di Aceh, Tanah Gayo Kabupaten Aceh Tengah juga sering disebut sebagai negeri "Antara" atau "Negeri di Atas Angin".

Nama ini erat kaitannya dengan legenda rakyat Aceh Tengah, Malem Diwa yang mengisahkan tentang percintaan Malem Diwa dengan Putroe Bunsu (Peteri Bensu/(Putri Bungsu) yakni seorang bidadari yang nyasar ke Kerajaan Antara dan sayapnya untuk terbang disembunyikan Malem Diwa yang jatuh cinta kepadanya. Kisah Malem Diwa dan Putroe Bunsu adalah kisah cinta abadi tiada taranya. Indah dan penuh dengan pengalaman suka duka serta rintangan berat yang hampir saja berakhir karena ayah dan ibu Putroe Bunsu berupaya mengembalikan anaknya ke Kerajaannya di langit. "Negeri Antara" dalam legenda Malem Diwa rakyat Aceh Tengah berada di sebuah gunung di atas Danau Laut Tawar.

Malem Diwa adalah putra seorang Raja Peusangan yang sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Bireuen. Malem Diwa sedang mandi di sungai dan tiba-tiba ia mendapatkan sehelai rambut panjang hanyut di sungai. Dan ia menelusuri Sungai Krueng Peusangan untuk mencari pemilik rambut yang ternyata adalah milik Putroe Bunsu. Kisah itu entah benar atau sekedar mitos, yang pasti hikayat tersebut sudah melagenda di dalam kultur masyarakat Peusangan, tetapi hampir setiap orang Peusangan meyakini tentang kebenaran hikayat tersebut. Sampai-sampai dulu dikisahkan oleh beberapa orang tua yang ada di Peusangan setiap orang yang ingin menutur atau menceritakan tentang hikayat Malem Diwa terlebih dahulu harus mengadakan kenduri untuk anak yatim. Yang paling terkenal dan ahli dalam hal menceritakan hikayat Malem Diwa ini adalah almarhum Tgk. Adnan PMTOH, konon kabarnya seniman tutur ini dalam menceritakan hikayat Malem Diwa bisa memakan waktu tiga malam pertunjukan yang dihadiri oleh masyarakat.

Walaupun hikayat Malem Diwa ini menurut beberapa orang hanya sekedar mitos, tapi masyarakat sangat meyakini itu adalah cerita yang benar-benar terjadi, sehingga di daerah Awe Geutah yang terletak kurang lebih 10 kilometer arah selatan Kota Matangglumpangdua sebagai ibukota Kecamatan Peusangan, sampai sekarang orang meyakini ada tupai peliharaan Malem Diwa, orang-orang di sana menyebutnya ”Tupai Teungku Malem”. Menurut cerita turun temurun, dahulu semasa Ampon Chiek Peusangan masih ada setiap penduduk diwajibkan untuk menanam pohon buah-buahan di depan rumahnya, terutama giri (jeruk bali), sehingga tidak heran sampai sekarang jeruk bali telah menjadi komoditas khas. Buah ini hanya terdapat di Matang, ibu kota Kecamatan Peusangan yang berjarak 10 kilometer dari Bireuen arah ke Medan.

www.iskandarnorman.blogspot.com

Cerita Aceh - Nurul 'Ala

PUTROE BUNGSU
Dalam buku Tarich Aceh dan Nusantara (1961) H M Zainuddin menyebutkan sebuah dongengan (mythe) penduduk Peureulak yang mengisahkan tentang Putri Nurul ‘Ala di Peureulak.

Dulu diriwayatkan, di Sungai Peuleukak dekat Blang Perak, Krueng Tuan dan Krueng Seumanah ada seorang raja yang belum mempunyai anak. Raja itu bernazar bila memperoleh seorang anak baik putri maupun putra akan dibawanya ke Kuala Peureulak untuk dimandikan dengan air laut.

Tak lama kemudian istrinya hamil dan melahirkan dua orang anak putra dan putri. Yang putri diberi nama Nurul ‘Ala. Setelah puteranya besar Radja Peureulak bermaksud melepaskan nazarnya itu. Sesudah siap semua perbekalan lalu menghilir ke Kuala Peureulak. Sesampainya di Kuala Peureulak ia berhenti di muara untuk membuat rakit. Di atas rakit itulah anak raja itu dimandikan.

Ketika sedang dimandikan tiba-tiba datang seekor hiu menerkamnya. Anak raja itu dibawa ke tengah laut. Raja dan pengikutnya ketakutan mereka naik kembali ke darat dan pulang ke Sungai Peureulak. Raja Peureulak kemudian memanggil nujum (orang pandai-red) untuk keumalon (meramal-red) kemana hiu menbawa anak itu.

Menurut ramalan nujum tersebut anak raja itu masih hidup, karena diselamatkan oleh seorang nakhoda. Nujum itu berkata agar raja itu tidak gelisah karena bila Putri Nurul ‘Ala sudah besar ia harus menebang pohon peureulak disamping Peunaron untuk dibuatkan bahtera. Dengan bahtera itu ia nanti bisa menjemput abangnya untuk dibawa pulang.

Inang pengasuh Putri Nurul ‘Ala pun mengasuhnya dengan suka cita. Ketika menina bobok sang putri ia menciptakan syair:

Alai hai do doda idang
Rangkang di blang tameh bangka
Beurijang rayeuk putroe seudang
Tajak teubang peurlak raya

Alai hai do doda idang
Cicem subang jiphe meugisa
Ngon tee rayeuk bungoeng keumang
Kayee disimpang peuget keu bechtera

Jak kutimang bungong meurak
Kayee sibak di leuen istana
Beurijang rayeuk puteh meuprak
Beukeut tamat beuliong raya

Jak kutimang bungong langsat,
bee jih mangat bungong langa,
beuridjang rayeuk puteh lumat,
bak jeuet tamat keumudue bechtra.

Allah hai do doda idi,
anoe pasi riyeuk tampa,
beurijang rayeuk cut putehdi,
gantoe abi adoen ta mita.

Allah hai do doda idang,
bungoeng mancang rhot meukeuba,
bak rijang rajeuk bungong keumang,
jak tueng abang di Djayakarta.

Jak kutimang bungong sukon,
bak sitahon boh hantomna,
beurijang rayeuk puteh sabon,
beu-ek tapeutron bechtra raya.

Bukon sayang lon eu simplah,
lam geu keubah soe ngui hana,
bukon sayang lon eu nang mah,
dalam sosah ingat keubanta.

Bukan sayang lon eu peutoe,
peunoh asoe meuih permata,
bukan sajang lon eu putroe,
da wok geumue ro ie mata.

Artinya:
Mari kuayun kubuaikan,
Dangau di sawah tiang bangka;
Lekaslah besar putri sedang,
Pergilah tebang peureulak raya.

Mari kubuai dan kudendang,
Unggas subang terbang berkisar.
jikalah besar bunga kembang,
Kayu disimpang buatkan bahtera.

Kembang merak mari kutimang,
Kaju sebatang muka istana,
Lekaslah besar putih cemerlang,
Sanggup memegang beliung raja.

Mari kutimang bunga langsat,
Bau yang sedap bunga kenanga.
Lekaslah besar putih-lumat,
cakap memegang kemudi bahtera.

Allah hai putri mari kubuai,
Pasir dipantai riak menimpa.
Lekas remaja cut putihdi,
Pengganti Ayah cari kakanda.

Allah hai putri mari kutimbang,
Bunga macang gugur merata.
Lekaslah besar wahai kembang,
Jemput abang di Djayakatera.

Mari kupangku bunga sukun,
Pohon sitaloh buah tak ada,
Lekaslah besar putih sabun,
Sanggup menurun bahtera raya.

Saja terharu memandang simplah
Tersimpan indah yang pakai tak ada,
Alangkah sayang bunda dan ayah,
Dalam susah mengenang banta.

Sedih hatiku melihat peti,
Penuh berisi intan permata,
Sajang sekali permaisuri,
Lalai berurai air mata.

Setiap hari inang pengasuh membuai Putri Nurul ‘Ala dengan syair tersebut untuk menumbuhkan semangatnya. Setelah ia besar, Putri Nurul ‘Ala ingat akan dendang itu, maka ia pun meminta kepada ayahnya untuk menebang pohon peureulak di simpang Sungai Peunaron untuk dibuat bahtera. Permintaan itu dikabulkan.

Setelah bahtera siap dikumpulkan masyarakat untuk menarik bahtera itu ke sungai. Berulang kali ditarik behtera itu tidak juga bergeser dari tempatnya. Putri Nurul ‘Ala jadi sedih. Pada suatu malam ia bermimpi agar bahtera itu bisa diturunkan ke sungai, ia harus membalut keponakannya Putri Nurkadimah dengan kain putih dan diletakkan sebagai bantalan bahtera itu. Sesudah Puteri Nurkadimah diletakkan dibawah bahtera itu, diambil sehelai rambutnja diikatkan pada bahtera untuk mendjadi tali penarik bahtera itu. Kalau tidak maka bahtera itu tidak bisa ditarik ke sungai.

Mendapat mimpi seperti itu membuat Putri Nurul ‘Ala bertambah susah. Karna tak mungkin Putri Nurkadimah mau menjadi bantalan bahtera. Mengetahui hal itu Putri Nurkadimah pun dengan suka rela menjadi bantalan. Setelah bermusyawarah dengan berbagai pertimbagan akhirnya diputuskan

Puteri Nurkadimah dibawa ketempat bahtera itu. Badannya diselimuti dengan kain putih, lalu diletakkan pada hulu bahtera itu. Setelah siap orang-orang menolak bahtera, sementara Putri Nurul ‘Ala memegang rambut Putri Nurkadimah untuk menarik bahtera, bahtera itupun bergerak dan ¬terjun ke sungai. Orang-orang tercengang apalagi ketika melihat Putri Nurkadimah tidak apa-apa.

Bahtera itu pun kemudian hanyut ke hilir sampai ke Gunung Beseleh sampai ke ketempat Raja Peureulak. Dari sana ia menyusul suadaranya yang diambil hiu yang dinamai Banta Eungkotba. Ia berangkat bersama beberapa orang pengiring ke Djayakarta.

Sampai di sana, begitu raja setempat mengetahui ada sebuah bahtera yang didalamnya ada seorang putrid cantik, maka dilakukanlah penyerangan. Perang pun terjadi. Karena jumlahnya kecil, kelompok Putri Nurul ‘Ala kalah, ia mengambil cincin peninggalan abangnya, Banta Eungkotba dibungkusnya cicncin itu dengan kain lalu ditembakkan ke darat dengan meriam.

Bungkusan itu jatuh ke depan raja Djayakarta yang sedang duduk bersama bala tentaranya. Bungkusan itu pun dibuka, begitu melihat cincin tersebut, ia pun terkenang akan Putri Nurul ‘Ala adiknya. Raja itu kemudian pergi sendiri ke laut dan menyidik asal usul putrit dalam bahtera itu. Diketahuilah ternyata Putri Nurul ‘Ala itu adalah adiknya.

Mereka kemudian tinggal bersama, tapi karena teringat akan kampung halaman mereka pulang ke Peureulak untuk bertemu dengan orang tuanya. Tapi sebelum pulang, Putri Nurul ‘Ala dipinang oleh Berbu Tapa, seorang pemimpin disana. Bila tidak mau menikah dengan Berbu Tapa maka akan diperangi. Putri Nurul ‘Ala menerima pinangan itu, tapi syaratnya ia harus kembali ke Peureulak terlebih dahulu.

Syarat itu diterima Berbu Tapa, malah ia juga ikut pergi ke Peureulak. Sampai di Sungai Peureulak Berbu Tapa disuruh tinggal di kampung Tjek Brek, sementara Putri Nurul ‘Ala tinggal di Paya Meuligoe. Beberapa lama tinggal di sana, Berbu Tapa mendesak Putri Nurul ‘Ala untuk segera menikah dengannya, tapi Putri Nurul ‘Ala meminta waktu tiga bulan untuk mempersiapkannya.

Ternyata ia bukan mempersiapkan diri untuk menikah dengan Berbu Tapa, sebaliknya mempersiapkan perbekalan untuk berperang dengannya. Sementara Banta Eungkotba tak lama sampai di Peureulak meninggal. Ia dikuburkan di Bukit Alue Meuih, Ranto Panyang, kuburan itu dikenal dengan nama Teungku Di Gudam.

Setelah saudaranya meninggal, Putri Nurul ‘Ala jadi takut untuk menyeran Berbu Tapa. Ia kemudian lari ke hulu sungai dekat Simpang Peunaron di Blang Perak. Berbu Tapa jadi berang, ia pun memburu Putri Nurul ‘Ala. Mengathaui ia diburu Putri Nurul ‘Ala lari lagi ke hulu Krueng Peunaron, Lubok Pancaningan dan meninggal di tempat itu. Karena marah tidak mendapatkan Putri Nurul ‘Ala, Berbu Tapa jadi berang. Ia mengamuk di Kampung Beuringen. Banyak orang dibunuhnya di kampung itu. Kampung itu pun kemudian dinamai Kampung Teungku Di Bungeh


PUTROE BUNGSU
Dalam buku Tarich Aceh dan Nusantara (1961) H M Zainuddin menyebutkan sebuah dongengan (mythe) penduduk Peureulak yang mengisahkan tentang Putri Nurul ‘Ala di Peureulak.

Dulu diriwayatkan, di Sungai Peuleukak dekat Blang Perak, Krueng Tuan dan Krueng Seumanah ada seorang raja yang belum mempunyai anak. Raja itu bernazar bila memperoleh seorang anak baik putri maupun putra akan dibawanya ke Kuala Peureulak untuk dimandikan dengan air laut.

Tak lama kemudian istrinya hamil dan melahirkan dua orang anak putra dan putri. Yang putri diberi nama Nurul ‘Ala. Setelah puteranya besar Radja Peureulak bermaksud melepaskan nazarnya itu. Sesudah siap semua perbekalan lalu menghilir ke Kuala Peureulak. Sesampainya di Kuala Peureulak ia berhenti di muara untuk membuat rakit. Di atas rakit itulah anak raja itu dimandikan.

Ketika sedang dimandikan tiba-tiba datang seekor hiu menerkamnya. Anak raja itu dibawa ke tengah laut. Raja dan pengikutnya ketakutan mereka naik kembali ke darat dan pulang ke Sungai Peureulak. Raja Peureulak kemudian memanggil nujum (orang pandai-red) untuk keumalon (meramal-red) kemana hiu menbawa anak itu.

Menurut ramalan nujum tersebut anak raja itu masih hidup, karena diselamatkan oleh seorang nakhoda. Nujum itu berkata agar raja itu tidak gelisah karena bila Putri Nurul ‘Ala sudah besar ia harus menebang pohon peureulak disamping Peunaron untuk dibuatkan bahtera. Dengan bahtera itu ia nanti bisa menjemput abangnya untuk dibawa pulang.

Inang pengasuh Putri Nurul ‘Ala pun mengasuhnya dengan suka cita. Ketika menina bobok sang putri ia menciptakan syair:

Alai hai do doda idang
Rangkang di blang tameh bangka
Beurijang rayeuk putroe seudang
Tajak teubang peurlak raya

Alai hai do doda idang
Cicem subang jiphe meugisa
Ngon tee rayeuk bungoeng keumang
Kayee disimpang peuget keu bechtera

Jak kutimang bungong meurak
Kayee sibak di leuen istana
Beurijang rayeuk puteh meuprak
Beukeut tamat beuliong raya

Jak kutimang bungong langsat,
bee jih mangat bungong langa,
beuridjang rayeuk puteh lumat,
bak jeuet tamat keumudue bechtra.

Allah hai do doda idi,
anoe pasi riyeuk tampa,
beurijang rayeuk cut putehdi,
gantoe abi adoen ta mita.

Allah hai do doda idang,
bungoeng mancang rhot meukeuba,
bak rijang rajeuk bungong keumang,
jak tueng abang di Djayakarta.

Jak kutimang bungong sukon,
bak sitahon boh hantomna,
beurijang rayeuk puteh sabon,
beu-ek tapeutron bechtra raya.

Bukon sayang lon eu simplah,
lam geu keubah soe ngui hana,
bukon sayang lon eu nang mah,
dalam sosah ingat keubanta.

Bukan sayang lon eu peutoe,
peunoh asoe meuih permata,
bukan sajang lon eu putroe,
da wok geumue ro ie mata.

Artinya:
Mari kuayun kubuaikan,
Dangau di sawah tiang bangka;
Lekaslah besar putri sedang,
Pergilah tebang peureulak raya.

Mari kubuai dan kudendang,
Unggas subang terbang berkisar.
jikalah besar bunga kembang,
Kayu disimpang buatkan bahtera.

Kembang merak mari kutimang,
Kaju sebatang muka istana,
Lekaslah besar putih cemerlang,
Sanggup memegang beliung raja.

Mari kutimang bunga langsat,
Bau yang sedap bunga kenanga.
Lekaslah besar putih-lumat,
cakap memegang kemudi bahtera.

Allah hai putri mari kubuai,
Pasir dipantai riak menimpa.
Lekas remaja cut putihdi,
Pengganti Ayah cari kakanda.

Allah hai putri mari kutimbang,
Bunga macang gugur merata.
Lekaslah besar wahai kembang,
Jemput abang di Djayakatera.

Mari kupangku bunga sukun,
Pohon sitaloh buah tak ada,
Lekaslah besar putih sabun,
Sanggup menurun bahtera raya.

Saja terharu memandang simplah
Tersimpan indah yang pakai tak ada,
Alangkah sayang bunda dan ayah,
Dalam susah mengenang banta.

Sedih hatiku melihat peti,
Penuh berisi intan permata,
Sajang sekali permaisuri,
Lalai berurai air mata.

Setiap hari inang pengasuh membuai Putri Nurul ‘Ala dengan syair tersebut untuk menumbuhkan semangatnya. Setelah ia besar, Putri Nurul ‘Ala ingat akan dendang itu, maka ia pun meminta kepada ayahnya untuk menebang pohon peureulak di simpang Sungai Peunaron untuk dibuat bahtera. Permintaan itu dikabulkan.

Setelah bahtera siap dikumpulkan masyarakat untuk menarik bahtera itu ke sungai. Berulang kali ditarik behtera itu tidak juga bergeser dari tempatnya. Putri Nurul ‘Ala jadi sedih. Pada suatu malam ia bermimpi agar bahtera itu bisa diturunkan ke sungai, ia harus membalut keponakannya Putri Nurkadimah dengan kain putih dan diletakkan sebagai bantalan bahtera itu. Sesudah Puteri Nurkadimah diletakkan dibawah bahtera itu, diambil sehelai rambutnja diikatkan pada bahtera untuk mendjadi tali penarik bahtera itu. Kalau tidak maka bahtera itu tidak bisa ditarik ke sungai.

Mendapat mimpi seperti itu membuat Putri Nurul ‘Ala bertambah susah. Karna tak mungkin Putri Nurkadimah mau menjadi bantalan bahtera. Mengetahui hal itu Putri Nurkadimah pun dengan suka rela menjadi bantalan. Setelah bermusyawarah dengan berbagai pertimbagan akhirnya diputuskan

Puteri Nurkadimah dibawa ketempat bahtera itu. Badannya diselimuti dengan kain putih, lalu diletakkan pada hulu bahtera itu. Setelah siap orang-orang menolak bahtera, sementara Putri Nurul ‘Ala memegang rambut Putri Nurkadimah untuk menarik bahtera, bahtera itupun bergerak dan ¬terjun ke sungai. Orang-orang tercengang apalagi ketika melihat Putri Nurkadimah tidak apa-apa.

Bahtera itu pun kemudian hanyut ke hilir sampai ke Gunung Beseleh sampai ke ketempat Raja Peureulak. Dari sana ia menyusul suadaranya yang diambil hiu yang dinamai Banta Eungkotba. Ia berangkat bersama beberapa orang pengiring ke Djayakarta.

Sampai di sana, begitu raja setempat mengetahui ada sebuah bahtera yang didalamnya ada seorang putrid cantik, maka dilakukanlah penyerangan. Perang pun terjadi. Karena jumlahnya kecil, kelompok Putri Nurul ‘Ala kalah, ia mengambil cincin peninggalan abangnya, Banta Eungkotba dibungkusnya cicncin itu dengan kain lalu ditembakkan ke darat dengan meriam.

Bungkusan itu jatuh ke depan raja Djayakarta yang sedang duduk bersama bala tentaranya. Bungkusan itu pun dibuka, begitu melihat cincin tersebut, ia pun terkenang akan Putri Nurul ‘Ala adiknya. Raja itu kemudian pergi sendiri ke laut dan menyidik asal usul putrit dalam bahtera itu. Diketahuilah ternyata Putri Nurul ‘Ala itu adalah adiknya.

Mereka kemudian tinggal bersama, tapi karena teringat akan kampung halaman mereka pulang ke Peureulak untuk bertemu dengan orang tuanya. Tapi sebelum pulang, Putri Nurul ‘Ala dipinang oleh Berbu Tapa, seorang pemimpin disana. Bila tidak mau menikah dengan Berbu Tapa maka akan diperangi. Putri Nurul ‘Ala menerima pinangan itu, tapi syaratnya ia harus kembali ke Peureulak terlebih dahulu.

Syarat itu diterima Berbu Tapa, malah ia juga ikut pergi ke Peureulak. Sampai di Sungai Peureulak Berbu Tapa disuruh tinggal di kampung Tjek Brek, sementara Putri Nurul ‘Ala tinggal di Paya Meuligoe. Beberapa lama tinggal di sana, Berbu Tapa mendesak Putri Nurul ‘Ala untuk segera menikah dengannya, tapi Putri Nurul ‘Ala meminta waktu tiga bulan untuk mempersiapkannya.

Ternyata ia bukan mempersiapkan diri untuk menikah dengan Berbu Tapa, sebaliknya mempersiapkan perbekalan untuk berperang dengannya. Sementara Banta Eungkotba tak lama sampai di Peureulak meninggal. Ia dikuburkan di Bukit Alue Meuih, Ranto Panyang, kuburan itu dikenal dengan nama Teungku Di Gudam.

Setelah saudaranya meninggal, Putri Nurul ‘Ala jadi takut untuk menyeran Berbu Tapa. Ia kemudian lari ke hulu sungai dekat Simpang Peunaron di Blang Perak. Berbu Tapa jadi berang, ia pun memburu Putri Nurul ‘Ala. Mengathaui ia diburu Putri Nurul ‘Ala lari lagi ke hulu Krueng Peunaron, Lubok Pancaningan dan meninggal di tempat itu. Karena marah tidak mendapatkan Putri Nurul ‘Ala, Berbu Tapa jadi berang. Ia mengamuk di Kampung Beuringen. Banyak orang dibunuhnya di kampung itu. Kampung itu pun kemudian dinamai Kampung Teungku Di Bunge.

www.acehkreasi.blogspot.com